Jumat, 02 April 2010

Jonkheer Mr. B.C. de Jonge, dan Negeri yang [Selalu] Terjajah


Bernama lengkap Bonifacius Cornelis de Jonge, lahir di Den Haag, tanggal 22 Januari 1875 dan meninggal pada 24 Juni 1958. De Jonge, yang seorang keturunan bangsawan Belanda, adalah Gubernur Jenderal Hindia-Belanda ke-65. Adanya tambahan ‘Jonkheer’ (yang dalam terjemahan bebasnya berarti ‘Tuan Muda’) di depan nama lengkap de Jonge, telah meneguhkan bahwa dia adalah seorang bangsawan.

Pernah menjabat Menteri Peperangan dalam sebuah kabinet di negeri Belanda, adalah pengalaman de Jonge sebagai seorang birokrat. Selain pernah jadi seorang menteri, de Jonge juga pernah pegang posisi sebagai direktur Royal Dutch Shell.

Berbeda dengan de Graeff (1926-31), Gubernur Jenderal sebelum de Jonge, adalah orang yang cukup lunak terhadap kaum pergerakan. Dia adalah Gubernur Jenderal yang cenderung memihak politik Ethis, sehingga masih merasa enggan untuk melakukan penindasan. Meskipun demikian, di tahun 1928, dia pernah mengasingkan Tjipto Mangunkusumo ke Pulau Banda, dan melakukan penumpasan terhadap gerakan serikat buruh berhaluan kiri.

Sebagai Gubernur Jenderal yang cenderung condong ke kanan, de Jonge adalah penentang keras pergerakan nasional dan segala bentuk nasionalisme. Selama pemerintahnnya, sering kali terjadi pembubaran rapat-rapat politik yang dianggap berbahaya. Banyak organisasi dan tokoh politiknya yang tak bisa lepas dari langkah de Jonge yang sangat kejam, Sjahrir dan partainya, PNI-Baru (Pendidikan Nasional Indonesia) adalah salah satunya.

Februari 1934, Sjahrir, Hatta dan beberapa pemimpin PNI-Baru ditangkap dan dibuang ke Boven Digul Papua, sebagai buah dari kekejaman de Jonge terhadap pergerakan nasional. Selain itu, dia juga tidak ingin melihat Volksraad memainkan peran penting dalam pemerintahan.

Ada sebuah kalimat, yang pernah terlontar dari mulut sangar seorang de Jonge, ketika melihat pemerintahannya semakin menguasai Hindia (Indonesia):

Kita sudah berada di Hindia selama 300 tahun, kita pasti harus bisa berada di sini selama 300 tahun lagi

Sebuah kalimat, yang cukup singkat, namun sangat dalam maknanya. Sebuah kalimat, yang penuh tekad, penuh semangat. Semangat yang muncul dari seorang de Jonge, sebagai seorang imperialis sejati, yang haus akan kekuasaan, haus akan penindasan. Keinginan untuk bercokol di bumi Nusantara masih tetap menyala, meskipun dia tak bernyawa.

Tidak mengherankan, bila negeri ini––Indonesia tercinta, sampai sekarang bak negeri yang terjajah, baik terjajah dari pemodal asing, terjajah secara militer (walau tak begitu tampak), bahkan terjajah oleh maling kebudayaan. Karena, bila kalimat yang terucap dari mulut de Jonge dihitung secara matematis, dimisalkan kalimat itu muncul tahun 1935, maka Nusantara (Indonesia) masih akan terjajah sampai tahun 2235, karena 1935 ditambah 300. Setelah itu, barulah negeri ini merdeka, merdeka selama-lamanya, 999 % negeri berdaulat.

3 komentar:

  1. Makasih infonya Pak Indonesia!

    BalasHapus
  2. Kok mau-maunya dijajah terus, malah menghitung kita sekarang ini masih dijajah, padahal sudah merdeka, berarti kita terjerumus dalam cara berfikir fatalisme, yang mau saja menelan dan melaksanakan kata-kata penjajah. Tidak cukupkah penderitaan para pahlawan yang mencapai [puncaknya tgl. 10 Nopember

    BalasHapus
  3. Kasat mata merdeka. Tapi pahami dan didalami. Makna masih terjajah akan terkuak di masalah ekonomi, politik dan hukum

    BalasHapus