Minggu, 04 April 2010

Pertunjukan Seni Wayang Wong, Sebuah Legitimasi Hamengku Buwono VIII



Wayang wong, atau dalam bahasa Indonesia berarti wayang orang, telah muncul sejak awal berdirinya Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Sultan Hamengku Buwono I, adalah sang pelopor seni pertunjukan kesenian tersebut. Sama halnya dengan pertunjukan tari, pertunjukan wayang orang adalah sebuah pertunjukan yang khusus digelar untuk kalangan istana. Terutama untuk acara-acara kenegaraan.


Periode Hamengku Buwono VIII, adalah masa dimana kegiatan seni dan budaya, mencapai masa keemasan. Khususnya untuk seni wayang orang. Pertunjukan wayang orang masa Hamengku Buwono VIII, merupakan sesuatu yang sangat penting.


Keberadaan wayang orang yang telah menjadi satu bagian dengan upacara di keraton. Adalah hal yang wajib dipenuhi oleh seorang raja. Dengan kata lain, pertunjukan wayang orang adalah bagian dalam kehidupan Sultan. Sebagai bagian dalam kehidupan Sultan dan keraton, tentu ada hal yang melatar belakangi terselenggaranya pertunjukan wayang orang. Satu hal yang sangat penting dalam pertunjukan seni wayang orang adalah latar belakang politik. Di mana di dalamnya terdapat masalah ‘kapan’ waktu yang tepat untuk mengadakan pertunjukan. Waktu atau kesempatan yang tepat untuk mengadakan pertunjukan, sangat berkaitan erat dengan strategi politik Sultan dalam proses legitimasi.


Sebagai sebuah aturan bagi seseorang yang akan diangkat menjadi raja, diwajibkan untuk menandatangani kontrak politik. Di mana sebelumnya telah melalui perundingan antara calon raja dengan pihak Belanda. Tentu saja kontrak politik akan ‘membatasai’ gerak langkah sebagai seorang raja, sehingga tidak independen. Kebebasan politik sangat terkekang, bahkan terkesan terpaksa untuk melakukan sebuah kebijakan. Dipilihlah kegiatan seni dan budaya, sebagai sarana pengukuhan kekuasaan.


Ketidakmampuan Hamengku Buwono VIII secara politis dalam menghadapi Belanda, menjadikan wayang sebagai sarana berkomunikasi dengan rakyat. Karena wayang adalah sumber yang tak pernah kering dalam komunikasi masyarakat Jawa, demikian menurut Soemarsaid Moertono dalam bukunya, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau: Studi Tentang Masa Mataram II Abad XVI sampai XIX.


Sebagai sarana ‘berkomunikasi’ dengan rakyat, berpaling pada seni wayang orang, adalah langkah lebih efektif daripada mencari cara baru dalam menghadapi tekanan politik. Sangat tidak masuk akal ketika kerajaan mengalami kemunduran secara politis, kemudian mencari-cari cara lain. Akan tetapi, justru dengan kemunduran dan tiadanya kesempatan politik, menyebabkan Kesultanan Yogyakarta memalingkan diri pada kegiatan lain, yaitu seni dan budaya.


Oleh karena itu, pertunjukan wayang orang di dalam keraton tidaklah main-main. Dengan kata lain, pertunjukan itu dilakukan secara besar-besaran, bahkan terkesan sangat megah. Selain itu, Sultan juga berusaha mengembangkan apa saja yang masih kurang dalam pertunjukan wayang orang, yang pernah dilakukan oleh para pendahulunya.


Sebagai sebuah pertunjukan yang berskala besar, tentunya penonton bukan hanya datang dari kalangan pribumi, melainkan para bangsawan Belanda. Kebanyakan dari mereka sangat antusias dalam menikmati pertunjukan wayang orang, meskipun pertunjukan itu berlangsung berhari-hari.


Pertunjukan wayang orang diantaranya digunakan untuk merayakan ulang tahun Sultan, upacara pernikahan, maupun untuk menyambut tamu kenegaraan. Ketika Sultan merayakan tumbuk-dalem yang ke-7 atau ulang tahun ke-56, ada pergelaran wayang orang selama tiga hari, dengan tiga lakon, seperti: Samba Sebit, Rama Nitik, dan Rama Nitis. Pergelaran wayang wong besar-besaran untuk upacara perkawinan bagi putera-puterinya sebanyak empat kali, yaitu: 1) pada tahun 1926 dengan lakon Samba Sebit dan lakon Suciptahening Mintaraga; 2) pada bulan Februari 1928 dengan lakon Parta Krama, lakon Srikandhi Jemparingan (Srikandhi Meguru Manah), dan lakon Sembadra Larung; 3) pada bulan Juli 1929 dengan lakon Jayapusaka; 4) pada bulan Maret 1939 dengan lakon Pregiwa-Pregiwati, lakon Rabinipun Angkawijaya, dan lakon Rabinipun Pancawala.


Bahkan untuk merayakan perkawinan antara Puteri Juliana dari kerajaan Belanda dengan Pangeran Bernhard van Lippe-Biesterfeld, pada bulan Januari 1937 diselenggarakan pergelaran wayang wong di keraton Yogyakarta dengan lakon Suciptahening Mintaraga. Dalam pertunjukan wayang orang tersebut, para tamu juga diberikan sajian makanan yang sangat mewah. Dengan kata lain mereka bak tamu agung.


Usaha pementasan wayang orang secara besar-besaran harus dilakukan Sultan, mengingat sangat pentingnya nilai sebuah pergelaran wayang orang bagi keraton dan Sultan sendiri.

Sabtu, 03 April 2010

Perkumpulan ‘Kridha Beksa Wirama’, Ihwal Kemunculan Seni Tari Di Tengah Rakyat


Seni tari, adalah sebuah kesenian yang awal mulanya berasal, dari, dan hanya untuk kalangan keraton. Adalah sebuah larangan besar, jika seseorang dari luar istana mempelajari seni tari. Dikenalnya seni tari dalam masyarakat, tidak dapat dilepaskan dari keberadan perkumpulan ‘Kridha Beksa Wirama’.

Kridha Beksa Wirama, sebuah perkumpulan yang berdiri pada 17 Agustus 1918. Gagasan mendirikan perkumpulan ‘Kridha Beksa Wirama’, didasari atas desakan para pemuda yang tergabung dalam Jong Java. Mereka menginginkan diberi pelajaran tari dan gamelan. Karena sebelumnya, sejak berakhirnya Perang Dunia I, tahun 1918, tidak ada seorangpun dari kalangan istana yang berniat mengajarkan seni tari beksa.

Keinginan para pemuda yang tergabung dalam Jong Java, kemudian ditindaklanjuti, dikirimlah R. Wiwoho dan R.M. Notosutarso sebagai perwakilan mereka untuk menghadap dan memperoleh restu Sultan. Restupun diperoleh, tidak perlu waktu lama, sebuah perkumpulan seni taripun didirikan, dengan nama ‘Kridha Beksa Wirama’ atau KBW.

Keberadaan perkumpulan Kridha Beksa Wirama pun semakin mantab, yaitu dengan dibentuk sebuah susunan pengurus. Adapun susunan pengurus KBW tersebut antara lain:

  1. Suryodiningrat sebagai Ketua
  2. Tedjokusumo sebagai Pemimpin Pelajaran Tari
  3. Wiroguno sebagai Pemimpin Pelajaran gamelan
  4. Jayadipura sebagai Pemimpin Kapujanggan
  5. Suryomurcita (K.R.T. Wiranegara) sebagai Sekretaris
  6. Puspodiningrat sebagai Bendahara
  7. Atmawijaya, Puspadirdja, Sastrasuprapta, Jayapragola, dan Atmawijaya sebagai Komisaris-komisaris.
Bekerjasama dengan Jong Java, KBW berusaha menyebarluaskan pendidikan seni tari bagi masyarakat umum. Kedua organisasi tersebut saling berbagi tugas, KBW menyediakan guru-guru tari, sedangkan Jong Java menyiapkan murid-murid yang bersal dari sekolah lanjutan. Pelajaran tari wayang orang, tari Bedaya-Serimpi, dan wayang orang yang telah digubah (menjadi wayang orang topeng), adalah kurikulum yang diajarkan.
Sejak tahun 1922, Kridha Beksa Wirama mulai membuka kesempatan bagi para penggemar seni tari, yang berminat memperdalam kemampuan tarinya. Di tahun yang sama, beberapa putra dan putri Paku Alam VII pun menjadi siswa KBW, seperti Suryosularso (kelak Paku Alam VIII), Suryosutikno, Sulastri, Kussaban, dan Kuspinah.
Pada tahun-tahun berikutnya, keberadaan Kridha Beksa Wirama semakin dikenal masyarakat luas, baik itu orang-orang pribumi maupun mancanegara. Banyak pihak yang berminat untuk sekadar belajar ataupun menekuni seni tari.
Tahun 1925, perkumpulan KBW menerima dua murid wanita, Zella Thomas dan Veramirowa, masing-masing berkebangsaan Amerika dan Rusia. Seperti sekolah-sekolah pada umumnya, KBW juga mengadakan ujian akhir, untuk mengukur seberapa kemampuan siswa dalam belajar tari. Dalam ujian ini, dua siswa asing tersebut mendapat nilai empat.

Tahun 1926 (a), Sri Mangkunegoro VII mengirim putri-putrinya, diantaranya R.A. Siti Nurul dan R.A. Partinah. Mereka diberikan pelajaran tari Sari Tunggal, Serimpi Merak Kesimpir, Serimpi Pande Lori, Serimpi Putri Cina, dan Bedaya Sinom. R.A. Partinah memperoleh nilai tujuh, dalam ujian akhir.
Tahun 1926 (b), KBW menerima murid asing seorang wanita Rusia lagi, Helen Litman. Wanita tersebut mempelajari tari Sari Tunggal. Ketika masa studinya telah berakhir, dia diberi kesempatan menunjukkan kemampuan menari dalam sebuah perjamuan, yaitu di pendapa Taman Siswa dan Tejokusuman.

Jumat, 02 April 2010

Pieter Both, Sang Pioner Monopoli Perdagangan di Nusantara

Berangkat dari Negeri Belanda dengan delapan buah kapal. Both berada dalam salah satu kapal, bernama Wapen van Amsterdam. Pengalaman pertama sebagai pemimpin, adalah tugasnya sebagai perwira laut utama di Hindia Belanda (1599-1601).


Pada November 1609, dia menjadi “pemegang kuasa tertinggi” dalam menciptakan monopoli perdagangan antara pulau di Hindia Belanda (hanya dengan Kerajaan Belanda), bukan dengan negara lain, terutama Inggris. Tahun 1609, juga merupakan tahun keberuntungan bagi VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie). Di tahun 1609, di bawah pimpinan Both, VOC telah berhasi menguasai Pulau Banda Neira, ujung dari Kepulauan Rempah-rempah.


Pieter Both, lahir di Amersfoort tahun 1568, adalah wakil VOC pertama di Hindia dan bisa dikatakan Gubernur Jenderal pertama Hindia Belanda. Ia memegang jabatan sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda dari 19 Desember 1610 hingga 6 November 1614.


Memulai tugas dengan mendirikan pos-pos perdagangan diberbagai tempat, diantaranya Banten dan Jayakarta. Namun, ketika Pieter Both berusaha memperkuat jaringan di Banda Neira, di tempat itu telah kedatangan rombongan kapal pedagang Inggris. Serombongan pedagang Inggris yang dipimpin David Middleton. Ketegangan pun seringkali terjadi antar pedagang Belanda dan Inggris.


Di saat yang sama. Sebagaimana Spanyol dan Portugis, Belanda juga mengonsentrasikan diri sepenuhnya di Kepulauan Maluku. Tak lain untuk mencari tiga komoditas utama, yaitu pala, cengkeh, dan lada. Eksplorasi komoditas rempah, terutama untuk jenis pala. Barang ini paling laku di pasaran, juga hanya dapat ditemukan di Maluku saja.


Kembali kepada Pieter Both. Sebagai Gubernur Jenderal pertama, tugas dia adalah menciptakan monopoli perdagangan antar pulau di Hindia Belanda. Dia melakukan beberapa langkah berani. Beberapa langkah itu antara lain mengadakan perjanjian perdagangan dengan Pulau Maluku, menaklukkan Pulau Timor, dan mengusir Spanyol dari Pulau Tidore.


Kekuasaan Pieter Both pun berakhir tahun1614. Sesudah digantikan oleh Gubernur Jenderal Gerard Reynst, Pieter Both pun bertolak ke Belanda dengan 4 kapal yang tersisa. Sungguh malang nasib Pieter Both. Akhir hidupnya berakhir tragis. Pada tahun 1615, kapal yang dia tumpangi, tenggelam di Perairan Mauritius bersama 2 kapal pengiringnya.

Jonkheer Mr. B.C. de Jonge, dan Negeri yang [Selalu] Terjajah


Bernama lengkap Bonifacius Cornelis de Jonge, lahir di Den Haag, tanggal 22 Januari 1875 dan meninggal pada 24 Juni 1958. De Jonge, yang seorang keturunan bangsawan Belanda, adalah Gubernur Jenderal Hindia-Belanda ke-65. Adanya tambahan ‘Jonkheer’ (yang dalam terjemahan bebasnya berarti ‘Tuan Muda’) di depan nama lengkap de Jonge, telah meneguhkan bahwa dia adalah seorang bangsawan.

Pernah menjabat Menteri Peperangan dalam sebuah kabinet di negeri Belanda, adalah pengalaman de Jonge sebagai seorang birokrat. Selain pernah jadi seorang menteri, de Jonge juga pernah pegang posisi sebagai direktur Royal Dutch Shell.

Berbeda dengan de Graeff (1926-31), Gubernur Jenderal sebelum de Jonge, adalah orang yang cukup lunak terhadap kaum pergerakan. Dia adalah Gubernur Jenderal yang cenderung memihak politik Ethis, sehingga masih merasa enggan untuk melakukan penindasan. Meskipun demikian, di tahun 1928, dia pernah mengasingkan Tjipto Mangunkusumo ke Pulau Banda, dan melakukan penumpasan terhadap gerakan serikat buruh berhaluan kiri.

Sebagai Gubernur Jenderal yang cenderung condong ke kanan, de Jonge adalah penentang keras pergerakan nasional dan segala bentuk nasionalisme. Selama pemerintahnnya, sering kali terjadi pembubaran rapat-rapat politik yang dianggap berbahaya. Banyak organisasi dan tokoh politiknya yang tak bisa lepas dari langkah de Jonge yang sangat kejam, Sjahrir dan partainya, PNI-Baru (Pendidikan Nasional Indonesia) adalah salah satunya.

Februari 1934, Sjahrir, Hatta dan beberapa pemimpin PNI-Baru ditangkap dan dibuang ke Boven Digul Papua, sebagai buah dari kekejaman de Jonge terhadap pergerakan nasional. Selain itu, dia juga tidak ingin melihat Volksraad memainkan peran penting dalam pemerintahan.

Ada sebuah kalimat, yang pernah terlontar dari mulut sangar seorang de Jonge, ketika melihat pemerintahannya semakin menguasai Hindia (Indonesia):

Kita sudah berada di Hindia selama 300 tahun, kita pasti harus bisa berada di sini selama 300 tahun lagi

Sebuah kalimat, yang cukup singkat, namun sangat dalam maknanya. Sebuah kalimat, yang penuh tekad, penuh semangat. Semangat yang muncul dari seorang de Jonge, sebagai seorang imperialis sejati, yang haus akan kekuasaan, haus akan penindasan. Keinginan untuk bercokol di bumi Nusantara masih tetap menyala, meskipun dia tak bernyawa.

Tidak mengherankan, bila negeri ini––Indonesia tercinta, sampai sekarang bak negeri yang terjajah, baik terjajah dari pemodal asing, terjajah secara militer (walau tak begitu tampak), bahkan terjajah oleh maling kebudayaan. Karena, bila kalimat yang terucap dari mulut de Jonge dihitung secara matematis, dimisalkan kalimat itu muncul tahun 1935, maka Nusantara (Indonesia) masih akan terjajah sampai tahun 2235, karena 1935 ditambah 300. Setelah itu, barulah negeri ini merdeka, merdeka selama-lamanya, 999 % negeri berdaulat.